Pada tanggal 21 April 1950, PSMS didirikan. Pada dekade itu PSMS menjadi salah satu perserikatan terbesar di Sumatera Utara. PSMS juga yang menggagas terbentuknya PSST (Persatuan Sepak bola Sumatra Timur) yang akhirnya berubah menjadi PSSU (Persatuan Sepak bola Sumatra Utara) yang tentu saja berada dibawah naungan PSSI pusat di Jakarta.
Semenjak berada dalam naungan PSSI, anak-anak medan memiliki kemampuan yang tak bisa diremehkan. Pada dekade 1950-an itu pula, pemain-pemain PSMS yang membela provinsi Sumatera Utara dlam dalam ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) mampu menyabet dua kali medali emas cabang sepakbola pada tahun 1953 dan 1957.
Cemerlang di PON tapi berbanding terbalik dengan kejuaraan PSSI. Mereka selalu gagal menjadi juara, kalah bersaing dengan Persija Jakarta dan PSM Makassar.
Zaman keemasan itu terjadi dari akhir dekade 60-an hingga pertengahan 70-an. Tercatat PSMS mampu menjuarai kompetisi pada tahun 1967, 1971 dan 1975. disanalah era terbaik sepakbola sumatera Utara sampai ada slogan “PSMS dan SUMUT sudah bosan dan capek jadi juara,”
saat PSMS menjuarai kompetisi Perserikatan 1967 dengan bermaterikan para pemain junior. Sebuah prestasi yang mencengangkan mengingat beberapa bulan sebelumnya para pemain ini masih membela PSMS junior dan menjadikan Ayam Kinantan juara Piala Suratin 1967. Regenerasi sepakbola di PSMS menghasilkan banyak pemain top seperti Parlin Siagian, Zulkarnaes Lubis, Sarman Pangaean, Nobon, Tumsila dan masih banyak lagi.
Sempat vakum hampir 10 tahun lamanya, Sepakbola Medan kembali menuai kejayaan. Kali ini mereka berhasil menjuarai Perserikatan 2 kali berturut. dua kali itu juga mereka mengalahkan Persib Bandung di laga final. Lewat sepakbola rap-rap yang keras tapi tak kasar anak-anak Bandung yang dikenal selalu bermain cantik itu dibuat mati kutu.
Laga sengit terjadi pada final 1985. Dalam laga yang disaksikan lebih dari 150.000 orang – sebuah rekor yang tak mungkin terpecahkan itu PSMS menang lewat adu pinalti. Adalah Ponirin Meka yang jadi pahlawan anak medan.
Kemenangan ini disambut antusias oleh masyarakat medan, dalam sejarahnya hanya dua kali lapangan Merdeka di Medan dipadati hampir 500.000 orang. Yang pertama saat Presiden sukarno datang beberapa tahun sesudah kemerdekaan dan yang kedua saat PSMS juara Perserikatan tahun 1985.
Sayangnya hal itu tak pernah terulang hingga kini. Kejayaan PSMS tinggal sejarah. Malah sejarah itu kian ternoda lewat dualisme yang sempat terjadi disana. Semoga kelak PSMS mampu mencatat kembali sejarah, bukan malah mengingat-ngingat kembali sejarah. Sejarah kejayaan sepakbola bagi PSMS bukan sekedar untuk diingat, tapi untuk dilanjutkan.
sumber data :
- Novan
- http://panditfootball.com/cerita/menunggu-ayam-kinantan-berkokok-kembali/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mahap ya woy..
klok ada yang tak pas isi artikel di atas, jan langsong ngamok kelian ya, koreksi aja lah ..bes tu klen isi di kotak komen di bawah ini, bak cepat kita betuli, yakan
thenks . salam kompak